RSS

Author Archives: stpengata

Syukni Pengata’s invitation is awaiting your response

LinkedIn
Syukni Pengata would like to connect on LinkedIn. How would you like to respond?
Syukni Pengata
Syukni Pengata
Legal Head at AIESEC Indonesia Alumni Organization (AIAO)
Confirm you know Syukni
You received an invitation to connect. LinkedIn will use your email address to make suggestions to our members in features like People You May Know. Unsubscribe
If you need assistance or have questions, please contact LinkedIn Customer Service.
© 2014, LinkedIn Corporation. 2029 Stierlin Ct. Mountain View, CA 94043, USA

9erups-i0ewht1m-4m.gif

 
Leave a comment

Posted by on September 23, 2014 in Advokat - Lawyer

 

Syukni Tumi Pengata is still waiting for you to join Twitter…

ibis?uid=0&iid=510fac376a274fe899f2a9803f46c628&nid=156+20+20140511&t=1
Top corners image
e3a351a53151231333862bfd06a17dd4_reasonably_small.jpeg
Syukni Tumi Pengata is still waiting for you to join Twitter… loadimage
Accept invitation
envelope-with-logo.png
You can stop getting these emails with people you may know (PYMK) suggestions at anytime. Learn more about PYMK suggestions or find other answers at Twitter’s Help Center.

Twitter, Inc. 1355 Market St., Suite 900 San Francisco, CA 94103

 
Leave a comment

Posted by on May 13, 2014 in Advokat - Lawyer

 

Syukni Tumi Pengata sent you an invitation

ibis?uid=0&iid=1e5e03aeaf624aada7a78bf737ebaefa&nid=9+20&t=1
Top corners image
e3a351a53151231333862bfd06a17dd4_reasonably_small.jpeg
Syukni Tumi Pengata has invited you to join Twitter! loadimage
Accept invitation
envelope-with-logo.png
You can stop getting these emails with people you may know (PYMK) suggestions at anytime. Learn more about PYMK suggestions or find other answers at Twitter’s Help Center.

Twitter, Inc. 1355 Market St., Suite 900 San Francisco, CA 94103

 
Leave a comment

Posted by on May 8, 2014 in Advokat - Lawyer

 

Syukni Tumi Pengata is still waiting for you to join Twitter…

ibis?uid=0&iid=77b9c6cda1dd45c7a5793efe2a78651c&nid=156+20+20140315&t=1
Top corners image
e3a351a53151231333862bfd06a17dd4_reasonably_small.jpeg
Syukni Tumi Pengata is still waiting for you to join Twitter… loadimage
Accept invitation
envelope-with-logo.png
You can stop getting these emails with people you may know (PYMK) suggestions at anytime. Learn more about PYMK suggestions or find other answers at Twitter’s Help Center.

Twitter, Inc. 1355 Market St., Suite 900 San Francisco, CA 94103

 
Leave a comment

Posted by on March 17, 2014 in Advokat - Lawyer

 

Syukni Tumi Pengata sent you an invitation

ibis?uid=0&iid=a525f4080128429a8417dfc2192c2b0a&nid=9+20&t=1
Top corners image
e3a351a53151231333862bfd06a17dd4_reasonably_small.jpeg
Syukni Tumi Pengata has invited you to join Twitter! loadimage
Accept invitation
envelope-with-logo.png
You can stop getting these emails with people you may know (PYMK) suggestions at anytime. Learn more about PYMK suggestions or find other answers at Twitter’s Help Center.

Twitter, Inc. 1355 Market St., Suite 900 San Francisco, CA 94103

 
Leave a comment

Posted by on March 12, 2014 in Advokat - Lawyer

 

Syukni Pengata wants to share papers with you

Academia.edu

Syukni Pengata would like to share papers and updates with you.

See Syukni Pengata’s Papers

Syukni Pengata has invited you to Academia.edu, a global network of over 4,512,021 researchers. After you sign up, you’ll be able to share your papers, see analytics on your profile and papers, follow other people in your field, and more.

For more information visit: http://www.academia.edu/press or contact us: feedback@academia.edu

Thanks,
The Academia.edu Team

Academia.edu’s office is at: 251 Kearny St., Suite 520, San Francisco, CA, 94108. To opt out of receiving these kinds of emails from Academia.edu, click here.

clear.gif

 
Leave a comment

Posted by on September 26, 2013 in Advokat - Lawyer

 

PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI PEKERJA

Undang – undang nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja

Pasal 28

Siapapun dilarang menghalang halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :

a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;

b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;

c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;

d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Sanksi :

Pasal 43

(1) Barang siapa yang menghalang halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

 
Leave a comment

Posted by on May 12, 2012 in Advokat - Lawyer

 

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) IKATAN PENASEHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI) ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL (HKHPM)

DISAHKAN PADA TANGGAL: 23 MEI 2002

DI SALIN DAN DIPERBANYAK OLEH: PANITIA DAERAH UJIAN KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA DKI JAKARTA 2002

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

PEMBUKAAN

Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.

Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan.

Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.

Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.

Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.
b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.
c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktek hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktek hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.

f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya.

BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT

Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat.
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi.
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat.
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara
(Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokat
dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau
oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama ia
menduduki jabatan tersebut.

BAB III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN

Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.

c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat
yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan
kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.

BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT

Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula.
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.

BAB V
TENTANG SEJAWAT ASING

Pasal 6

Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.

BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA

Pasal 7
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan “Sans Prejudice “.
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka pengadilan.
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan surat, termasuk surat yang bersifat “ad informandum” maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan.
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai
perkara yang ia tangani kepada kliennya pada waktunya.

BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK

Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.
b. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.

d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatu lembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.

BAB VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK

Pasal 9
a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini.
b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan.

BAB IX
DEWAN KEHORMATAN

Bagian Pertama
KETENTUAN UMUM

Pasal 10
1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat.
2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu:

a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir.
4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:

a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota;
c. Pengadu/Teradu.

Bagian Kedua
PENGADUAN

Pasal 11
1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:

a. Klien.
b. Teman sejawat Advokat.
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota Masyarakat.
e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.
2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu.
3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.

Bagian Ketiga TATA CARA PENGADUAN

Pasal 12
1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota.
2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.
3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.

Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal 13
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy surat pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu.

3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.
4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah ditetapkan tersebut.
6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling tambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang yang ditentukan.
7. Pengadu dan yang teradu:

a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat.
b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.
8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:

a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;
b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak tidak hadir:

a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil pihak yang tidak hadir secara patut.
b. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan umum atau kepentingan organisasi.
c. Apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya teradu.
d. Dewan berwenang untuk memberikan keputusan di luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama seperti keputusan biasa.

Bagian Kelima SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal 14
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil.

2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.
3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,
4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara itu.
5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.

Bagian Keenam CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pasal 15
(1) Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat berupa:

a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;
b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu;
c. Menolak pengaduan dari pengadu.
(2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar.
(3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan didalam berkas perkara.
(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang bersangkutan.

Bagian Ketujuh
SANKSI-SANKSI

Pasal 16
1. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:

a. Peringatan biasa.
b. Peringatan keras.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi:
a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.

b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.
c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.
d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.

3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.

Bagian Kedelapan PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN

Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan Cabang/Daerah harus disampaikan kepada:
a. Anggota yang diadukan/teradu;
b. Pengadu;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi profesi;
d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;
e. Dewan Kehormatan Pusat;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Bagian Kesembilan PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT

Pasal 18
1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan.
3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.
4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu.

6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan Pusat.
7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis.
9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua.
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN

Pasal 19
1. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dengan memutus sendiri.
2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS.
4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:

a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;
b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang bersangkutan;
d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan;
e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;
f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.
5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi.

Bagian Kesebelas

KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN

Pasal 20
Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi.

BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN

Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia.

BAB XI ATURAN PERALIHAN

Pasal 22
1. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali.
2. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini.
3. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintah.
4. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini.

Pasal 23
Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini.

BAB XXII PENUTUP

Pasal 24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-undang tentang Advokat

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 23 Mei 2002 Oleh :
1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN)

Ttd. Ttd.

H. Sudjono, S.H. Otto Hasibuan, S.H. MM.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal
2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI)

Ttd. Ttd.

Denny Kailimang, S.H. Teddy Soemantry, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)

Ttd. Ttd.

H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E. Suherman Kartadinata, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)

Ttd. Ttd.

Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.
Sekretaris/Caretaker Ketua Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL

Ttd.

Ttd.

Soemarjono S., S.H. Ketua Umum
Hafzan Taher, S.H. Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)

Ttd. Ttd.

Trimedya Panjaitan, S.H. Sugeng T. Santoso, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI)

Ttd. Ttd.
H. A. Z. Arifien Syafe’i, S.H. Suhardi Somomoeljono, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

PERUBAHANI

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII, pasal 24 kode etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 sehingga seluruhnya menjadi :

BAB XXII
PENUTUP

Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu sejak tanggal 23 Mei 2002.

Ditanda-tangani di: Jakarta Pada tanggal: 1 Oktober 2002 Oleh:

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA:

1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN)

Ttd.

Ttd.

 

H. Sudjono, S.H.

Otto Hasibuan, S.H. MM.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI)

Ttd.

Ttd.

 

Denny Kailimang, S.H.

Teddy Soemantry, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)

Ttd.

Ttd.

H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E. Suherman Kartadinata, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)

Ttd. Ttd.

Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.
Sekretaris/Caretaker Ketua Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL

Ttd. Ttd.

Soemarjono S., S.H. Hafzan Taher, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)

Ttd. Ttd.

Trimedya Panjaitan, S.H. Sugeng T. Santoso, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI)

Ttd. Ttd.
H. A. Z. Arifien Syafe’i, S.H. Suhardi Somomoeljono, S.H.
Ketua Umum Sekretaris Jenderal

 
1 Comment

Posted by on December 16, 2011 in Advokat - Lawyer

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007

TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  1. bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas;
  2. bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia;
  3. bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama;
  4. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

 

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

2. Undang-Undang …

 

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4235);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   UNDANG-UNDANG  TENTANG  PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

 

 

 

2. Tindak …

 

  1. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
  2. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
  3. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.
  4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
  5. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
  6. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
  7. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
  8. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.

 

  1. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
  2. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.

 

 

 

12. Ancaman …

 

  1. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.
  2. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
  3. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
  4. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.

BAB II

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 2

(1)       Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2)       Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat

(1).

 

Pasal 3

 

Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 4

 

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 5

 

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 6

 

Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

 

Pasal 7

(1)       Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2)       Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus

juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima

milyar rupiah).

Pasal 8

(1)     Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2)     Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

(3)     Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

Pasal 9

 

Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

 

Pasal 10

 

Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 11

 

Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 12

 

Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 13

(1)       Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

(2)       Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

 

Pasal 14

 

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

Pasal 15

(1)     Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2)     Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

 

  1. pencabutan izin usaha;
  2. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
  3. pencabutan status badan hukum;
  4. pemecatan pengurus; dan/atau
    1. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.

Pasal 16

 

Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 17

 

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

 

Pasal 18

 

Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana.

BAB III

TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 19

Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 20

 

Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 21

 

(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

(2) Jika …

 

(2)       Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3)       Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 22

 

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 23

 

Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan:

  1. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;
  2. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;
  3. menyembunyikan pelaku; atau
  4. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

Pasal 24

 

Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 25

 

Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 26

 

Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 27

 

Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.

BAB IV

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN

DI SIDANG PENGADILAN Pasal 28

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

 

Pasal 29

 

Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:

  1. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
  2. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

 

1)     tulisan, suara, atau gambar;

2)     peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

3)     huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Pasal 30

 

Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.

Pasal 31

(1)       Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang.

(2)       Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

 

Pasal 32

 

Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 33

(1)      Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

(2)      Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan.

Pasal 34

 

Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.

Pasal 35

 

Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan.

Pasal 36

 

(1) Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya.

(2) Informasi …

 

(2) Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.

Pasal 37

(1)         Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.

(2)         Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang.

(3)         Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan.

Pasal 38

 

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.

Pasal 39

(1)        Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup.

(2)        Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya.

(3)        Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.

 

Pasal 40

(1)         Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman.

(2)         Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.

Pasal 41

(1)         Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.

(2)         Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa.

Pasal 42

 

Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya.

BAB V

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Pasal 43

 

Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

 

Pasal 44

(1)        Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas.

(2)        Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban.

Pasal 45

(1)      Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.

(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 46

(1)      Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.

(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 47

 

Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

 

Pasal 48

(1)        Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.

(2)        Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:

 

  1. kehilangan kekayaan atau penghasilan;
  2. penderitaan;
    1. biaya   untuk   tindakan   perawatan   medis dan/atau psikologis; dan/atau
    2. kerugian   lain   yang   diderita   korban   sebagai akibat perdagangan orang.

 

(3)     Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam

amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.

(4)     Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.

 

(5)         Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.

(6)         Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(7)         Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Pasal 49

(1)         Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.

(2)         Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

(3)         Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.

 

Pasal 50

(1)         Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.

(2)         Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.

(3)         Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.

(4)         Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 51

(1)      Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.

(2)      Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3)      Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah.

Pasal 52

 

(1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan.

(2) Untuk …

 

(2)         Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.

(3)         Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.

Pasal 53

 

Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.

Pasal 54

(1)         Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara.

(2)         Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.

(3)         Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum internasional, atau kebiasaan internasional.

 

Pasal 55

 

Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

BAB VI

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN

Pasal 56

 

Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 57

(1)        Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

(2)        Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.

Pasal 58

(1)         Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.

(2)         Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/ akademisi.

 

(3) Pemerintah …

 

(3)         Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.

(4)         Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas:

 

  1. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang;
  2. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja

sama;

  1. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;
  2. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta
  3. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.

 

(5)      Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat

setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden.

(6)      Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan.

(7)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB VII

KERJA SAMA INTERNASIONAL DAN

PERAN SERTA MASYARAKAT

 

Bagian Kesatu Kerja Sama Internasional

Pasal 59

 

(1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral.

(2) Kerja sama …

 

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat

Pasal 60

(1)         Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang.

(2)         Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 61

 

Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.

Pasal 62

 

Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum.

Pasal 63

 

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 64

 

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.

 

BAB IX KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 65

 

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, maka Pasal 297 dan Pasal 324 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia lI Nomor 9) jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 66

 

Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini harus diterbitkan selambat-lambatnya dalam 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku.

 

Pasal 67

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

HAMID AWALUDIN

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 58

 

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007

 

TENTANG

 

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

I. UMUM

 

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.

 

Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

 

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

 

Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis.

 

 

Perbudakan …

 

Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.

 

Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara.

 

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.

 

Undang-Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.

Pencegahan …

 

Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan juga antarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini, kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 3

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa wilayah negara Republik Indonesia adalah sebagai negara tujuan atau transit.

Pasal 4

Cukup jelas.

 

Pasal 6

Yang dimaksud dengan frasa “pengiriman anak ke dalam negeri” dalam ketentuan ini adalah pengiriman anak antardaerah dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “luka berat” dalam ketentuan ini adalah:

  1. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut;
  2. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;
  3. kehilangan salah satu pancaindera;
  4. mendapat cacat berat;
  5. menderita sakit lumpuh;
    1. mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut; atau
    2. gugur atau matinya janin dalam kandungan seorang perempuan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam ketentuan ini adalah pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana perdagangan orang.

Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kekuasaan” dalam ketentuan ini adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus, dan/atau pelarangan pengurus tersebut mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama” dalam ketentuan ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kelompok yang terorganisasi” adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung.

Pasal 17

Cukup jelas.

 

Pasal 18

Yang dimaksud dengan “dipaksa” dalam ketentuan ini adalah suatu keadaan di mana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.

Pasal 19

Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah.

Yang dimaksud dengan “dokumen lain” dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “petugas di persidangan” adalah hakim, penuntut umum, panitera, pendamping korban, advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam persidangan tindak pidana perdagangan orang.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Ketentuan ini berlaku juga bagi pemberitahuan identitas korban atau saksi kepada media massa.

Pasal 25

Cukup jelas.

 

Pasal 27

Dalam ketentuan ini, korban tetap memiliki hak tagih atas utang atau perjanjian jika pelaku memiliki kewajiban atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan “data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik” dalam ketentuan ini misalnya: data yang tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan lainnya seperti:

  1. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;
  2. catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang ini; atau
  3. dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Yang dimaksud dengan “penyedia jasa keuangan” antara lain, bank, perusahaan efek, reksa dana, kustodian, dan pedagang valuta asing.

Pasal 33

Cukup jelas.

 

Pasal 35

Yang dimaksud dengan “pendamping lainnya” antara lain psikolog, psikiater, ahli kesehatan, rohaniwan, dan anggota keluarga.

Pasal 36

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “korban berhak mendapatkan informasi tentang  perkembangan   kasus  yang  melibatkan   dirinya” dalam ketentuan ini adalah korban yang menjadi saksi dalam proses peradilan tindak pidana perdagangan orang. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “informasi tentang perkembangan kasus setiap tahap pemeriksaan” dalam ketentuan ini antara lain, berupa salinan berita acara pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan tuntutan, serta putusan pengadilan.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)

Yang dimaksud “perekaman” dalam ayat ini dapat dilakukan dengan alat rekam audio, dan/atau audio visual.

Ayat (2)

Yang dimaksud “pejabat yang berwenang” adalah penyidik atau penuntut umum.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ketentuan ini dimaksudkan untuk:

a. memungkinkan bahwa terdakwa yang melarikan diri mengetahui putusan tersebut; atau

 

 

b. memberikan …

 

b. memberikan tambahan hukuman kepada terdakwa berupa “pencideraan nama baiknya” atas perilaku terdakwa yang tidak kooperatif dengan proses hukum.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini, mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kerugian lain” dalam ketentuan ini misalnya:

  1. kehilangan harta milik;
  2. biaya transportasi dasar;
    1. biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; atau
    2. kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Dalam ketentuan ini, penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi.

Ayat (6)

Restitusi dalam ketentuan ini merupakan pembayaran riil (faktual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi kesehatan” dalam ketentuan ini

adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis.

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” dalam ketentuan ini

adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan

pengembalian   keberfungsian   sosial   agar   dapat melaksanakan

perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam

masyarakat.

Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” dalam ketentuan ini adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Hak atas “pemulangan” harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar menginginkan pulang, dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini permohonan rehabilitasi dapat dimintakan oleh korban atau kuasa hukumnya dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “pemerintah” dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial, dan dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini, pembentukan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dengan memperhatikan asas prioritas. Dalam hal daerah telah mempunyai rumah perlindungan sosial atau pusat trauma, maka pemanfaatan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma perlu dioptimalkan sesuai dengan Undang-Undang ini.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “perwakilannya di luar negeri” dalam ketentuan ini adalah kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau kekonsuleran lainnya yang sesuai peraturan perundang-undangan menjalankan mandat Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum di luar negeri.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 55

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan lain” dalam ketentuan ini mengacu pula pada undang-undang yang mengatur perlindungan saksi dan/atau korban.

 

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Pemerintah” dalam ketentuan ini adalah instansi yang menjalankan urusan antara lain, di bidang pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan ketenagakerjaan, hukum dan hak asasi manusia, komunikasi dan informasi.

Yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” dalam ketentuan ini meliputi provinsi dan kabupaten/kota.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penanganan” meliputi antara lain, kegiatan pemantauan, penguatan, dan peningkatan kemampuan penegak hukum dan para pemangku kepentingan lain.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Pemerintah Republik Indonesia” dalam ketentuan ini adalah pejabat yang oleh Presiden diberikan kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “bantuan timbal balik dalam masalah pidana” dalam ketentuan ini misalnya:

  1. pengambilan alat/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang;
  2. pemberian dokumen resmi dan catatan hukum lain yang terkait;
  3. pengidentifikasian orang dan lokasi;
    1. pelaksanaan permintaan untuk penyelidikan dan penyitaan dan pemindahan barang bukti berupa dokumen dan barang;
    2. upaya pemindahan hasil kejahatan;
      1. upaya persetujuan dari orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan oleh pihak peminta dan jika orang itu berada dalam tahanan mengatur pemindahan sementara ke pihak peminta;
      2. penyampaian dokumen;
        1. penilaian ahli dan pemberitahuan hasil dari proses acara pidana; dan

 

i.   bantuan lain sesuai dengan tujuan bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Yang dimaksud dengan “perlindungan hukum” dalam ketentuan ini dapat berupa perlindungan atas:

  1. keamanan pribadi;
  2. kerahasiaan identitas diri; atau
    1. penuntutan hukum sebagai akibat melaporkan secara bertanggung jawab tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

 

 

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4720

 
Leave a comment

Posted by on November 16, 2011 in Advokat - Lawyer

 

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG
PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif;
b. bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia;
c. bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

– 2 –
d. bahwa pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang kurang memperhatikan keseimbangan bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan kesulitan masyarakat untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur sehingga perlu diganti;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 33 ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN
PERMUKIMAN.

BAB I .

– 3 –

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.
2. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
3. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
4. Lingkungan hunian adalah bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman.
5. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

6. Penyelenggaraan …

– 4 –
6. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.
7. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
8. Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
9. Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat.
10. Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
11. Rumah khusus adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus.
12. Rumah Negara adalah rumah yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
13. Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
14. Perumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.

– 5 –
15. Kawasan siap bangun yang selanjutnya disebut Kasiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang.
16. Lingkungan siap bangun yang selanjutnya disebut Lisiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dengan batas-batas kaveling yang jelas dan merupakan bagian dari kawasan siap bangun sesuai dengan rencana rinci tata ruang.
17. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan.
18. Konsolidasi tanah adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dalam usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman guna meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan partisipasi aktif masyarakat.
19. Pendanaan adalah penyediaan sumber daya keuangan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber dana lain yang dibelanjakan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20. Pembiayaan .

– 6 –
20. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau setiap pengeluaran yang akan diterima kembali untuk kepentingan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman baik yang berasal dari dana masyarakat, tabungan perumahan, maupun sumber dana lainnya.
21. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman.
22. Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
23. Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian.
24. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah.
25. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
26. Badan hukum adalah badan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang kegiatannya di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
27. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

– 7 –
28. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
29. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.

BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan dengan berasaskan:
a. kesejahteraan;
b. keadilan dan pemerataan;
c. kenasionalan;
d. keefisienan dan kemanfaatan;
e. keterjangkauan dan kemudahan;
f. kemandirian dan kebersamaan;
g. kemitraan;
h. keserasian dan keseimbangan;
i. keterpaduan;
j. kesehatan;
k. kelestarian dan keberlanjutan; dan
l. keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan.

Pasal 3

Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk:
a. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

b. mendukung .

– 8 –
b. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi
MBR;
c. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;
d. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
e. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan
f. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Pasal 4

Ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan permukiman meliputi:
a. pembinaan;
b. tugas dan wewenang;
c. penyelenggaraan perumahan;
d. penyelenggaraan kawasan permukiman;
e. pemeliharaan dan perbaikan;
f. pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh;
g. penyediaan tanah;
h. pendanaan dan pembiayaan;
i. hak dan kewajiban; dan
j. peran masyarakat.

kawasan

terhadap

– 9 –

BAB III
PEMBINAAN

Pasal 5
(1) Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:

a. Menteri pada tingkat nasional;
b. gubernur pada tingkat provinsi; dan
c. bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota.

Pasal 6
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi:

a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. pengendalian; dan
d. pengawasan.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan koordinasi lintas sektoral, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan, baik vertikal maupun horizontal.

Pasal 7

(1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan satu kesatuan yang utuh dari rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.

(2) Perencanaan .

– 10 –
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun pada tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten/kota yang dimuat dan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Perencanaan pada tingkat nasional menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi.
(5) Perencanaan pada tingkat provinsi menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

Pasal 8

Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:
a. penyediaan tanah;
b. pembangunan;
c. pemanfaatan;
d. pemeliharaan; dan
e. pendanaan dan pembiayaan.

Pasal 9

Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi pengendalian:

– 11 –
a. rumah;
b. perumahan;
c. permukiman;
d. lingkungan hunian; dan
e. kawasan permukiman.

Pasal 10

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d meliputi pemantauan, evaluasi, dan koreksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV TUGAS DAN WEWENANG

Bagian Kesatu Umum

Pasal 12
(1) Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman mempunyai tugas dan wewenang.
(2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Bagian Kedua .

– 12 –

Bagian Kedua Tugas

Paragraf 1 Pemerintah

Pasal 13

Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
b. merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
c. merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional tentang penyediaan Kasiba dan Lisiba;
d. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
e. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional penyediaan rumah dan pengembangan lingkungan hunian dan kawasan permukiman;
f. mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR;
g. memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR;
h. memfasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pada tingkat nasional;
i. melakukan dan mendorong penelitian dan
pengembangan penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman;

j. melakukan .

– 13 –

j. melakukan sertifikasi, kualifikasi, klasifikasi, dan
registrasi keahlian kepada orang atau badan yang
menyelenggarakan pembangunan perumahan dan
kawasan permukiman; dan
k. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.

Paragraf 2 Pemerintah Provinsi

Pasal 14

Pemerintah provinsi dalam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi pada tingkat provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional;
b. merumuskan dan menetapkan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional;
c. merumuskan dan menetapkan kebijakan penyediaan Kasiba dan Lisiba lintas kabupaten/kota;
d. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pada tingkat provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
e. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman;
f. menyusun rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman lintas kabupaten / kota;

g. memfasilitasi …

– 14 –
g. memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;
h. mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR;
i. memfasilitasi penyediaan perumahan dan kawasan
permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR; dan
j. memfasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pada tingkat provinsi.

Paragraf 3 Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 15

Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi;
b. menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah dengan berpedoman pada strategi nasional dan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
c. menyusun rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
d. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman;

– 15 –
e. melaksanakan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan;
f. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
g. melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota;
h. melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
i. melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan
permukiman;
j. melaksanakan kebijakan dan strategi daerah provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional;
k. melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman;
l. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
m. mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR;
n. memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR;
o. menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba; dan
p. memberikan pendampingan bagi orang perseorangan yang melakukan pembangunan rumah swadaya.

– 16 –

Bagian Ketiga Wewenang

Paragraf 1 Pemerintah

Pasal 16

Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan mempunyai wewenang:
a. menyusun dan menetapkan norma, standar, pedoman, dan kriteria rumah, perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian yang layak, sehat, dan aman;
b. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman;
c. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman;
d. memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat nasional;
e. melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan pelindungan hukum dalam bermukim;
f. mengoordinasikan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal;
g. mengoordinasikan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman;
h. mengevaluasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat nasional;

i. mengendalikan .

– 17 –

i. mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan strategi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
j. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh;
k. menetapkan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
l. memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman; dan
m. memfasilitasi kerja sama tingkat nasional dan
internasional antara Pemerintah dan badan hukum
dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman.

Paragraf 2 Pemerintah Provinsi

Pasal 17

Pemerintah provinsi dalam melaksanakan pembinaan mempunyai wewenang:
a. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;
b. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;
c. memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;
d. melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan pelindungan hukum dalam bermukim;

e. mengoordinasikan …

– 18 –
e. mengoordinasikan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal;
f. mengoordinasikan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;
g. mengevaluasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;
h. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat provinsi;
i. mengoordinasikan pencadangan atau penyediaan tanah
untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi
MBR pada tingkat provinsi;
j. menetapkan kebijakan dan strategi daerah provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional; dan
k. memfasilitasi kerja sama pada tingkat provinsi antara pemerintah provinsi dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

Paragraf 3 Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 18

Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan mempunyai wewenang:
a. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
b. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota bersama DPRD;

c. memberdayakan .

– 19 –
c. memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
d. melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;
e. mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR;
f. menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat kabupaten/kota;
g. memfasilitasi kerja sama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
h. menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota; dan
i. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat
kabupaten/kota.

BAB V
PENYELENGGARAAN PERUMAHAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 19

(1) Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

(2) Penyelenggaraan .

– 20 –

(2) Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

Pasal 20
(1) Penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 meliputi:

a. perencanaan perumahan;
b. pembangunan perumahan;
c. pemanfaatan perumahan; dan
d. pengendalian perumahan.
(2) Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rumah atau perumahan beserta prasarana, sarana, dan utilitas umum.
(3) Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibedakan menurut jenis dan bentuknya.

Bagian Kedua Jenis dan Bentuk Rumah

Pasal 21

(1) Jenis rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan berdasarkan pelaku pembangunan dan penghunian yang meliputi:
a. rumah komersial;
b. rumah umum;
c. rumah swadaya;

d. rumah …

– 21 –
d. rumah khusus; dan
e. rumah negara.

(2) Rumah komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(3) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.
(4) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok.
(5) Rumah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah untuk kebutuhan khusus.
(6) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(7) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat memperoleh bantuan dan kemudahan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(8) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Pasal 22
(1) Bentuk rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan berdasarkan hubungan atau keterikatan antarbangunan.
(2) Bentuk rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. rumah tunggal;
b. rumah deret; dan

– 22 –

c. rumah susun.

(3) Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.

Bagian Ketiga Perencanaan Perumahan

Paragraf 1 Umum

Pasal 23
(1) Perencanaan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah.
(2) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. perencanaan dan perancangan rumah; dan
b. perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.
(3) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari perencanaan permukiman.
(4) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rumah sederhana, rumah menengah, dan/atau rumah mewah.

Paragraf 2 .

– 23 –

Paragraf 2 Perencanaan dan Perancangan Rumah

Pasal 24
Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan untuk:
a. menciptakan rumah yang layak huni;
b. mendukung upaya pemenuhan kebutuhan rumah oleh masyarakat dan pemerintah; dan
c. meningkatkan tata bangunan dan lingkungan yang terstruktur.

Pasal 25
Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan oleh setiap orang yang memiliki keahlian di bidang perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26
(1) Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus memenuhi persyaratan teknis, administratif, tata ruang, dan ekologis.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan syarat bagi diterbitkannya izin mendirikan bangunan.
(3) Perencanaan dan perancangan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari perencanaan perumahan dan/atau permukiman.

Pasal 27 .

– 24 –

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan dan perancangan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3
Perencanaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum

Pasal 28
(1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan meliputi:

a. rencana penyediaan kaveling tanah untuk perumahan sebagai bagian dari permukiman; dan
b. rencana kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.
(2) Rencana penyediaan kaveling tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan sebagai landasan perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
(3) Rencana penyediaan kaveling tanah dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah bagi kaveling siap bangun sesuai dengan rencana tata bangunan dan lingkungan.

Pasal 29

(1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan ekologis.

(2) Perencanaan …

– 25 –

(2) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah memenuhi persyaratan wajib mendapat pengesahan dari pemerintah daerah.

Pasal 30
(1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dapat dilakukan oleh setiap orang.
(2) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki keahlian di bidang perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Pembangunan Perumahan

Paragraf 1 Umum

Pasal 32

(1) Pembangunan perumahan meliputi:
a. pembangunan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan / atau
b. peningkatan kualitas perumahan.

(2) Pembangunan .

– 26 –
(2) Pembangunan perumahan dilakukan dengan mengembangkan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta mengembangkan industri bahan bangunan yang mengutamakan pemanfaatan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan.
(3) Industri bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia.

Pasal 33
(1) Pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR.
(2) Pemerintah daerah berwenang mencabut izin pembangunan perumahan terhadap badan hukum yang tidak memenuhi kewajibannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kemudahan perizinan dan tata cara pencabutan izin pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 34
(1) Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang.
(2) Pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan oleh badan hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan.

– 27 –
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk badan hukum yang membangun perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum.
(4) Dalam hal pembangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang.

Pasal 35
(1) Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
(2) Ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 36
(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota.
(2) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.
(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan daerah.
(4) Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.

Pasal 37 .

– 28 –

Pasal 37

Ketentuan lebih lanjut mengenai perumahan skala besar dan kriteria hunian berimbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2 Pembangunan Rumah

Pasal 38
(1) Pembangunan rumah meliputi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun.
(2) Pembangunan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan berdasarkan tipologi, ekologi, budaya, dinamika ekonomi pada tiap daerah, serta mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan.
(3) Pembangunan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh setiap orang, Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah.
(4) Pembangunan rumah dan perumahan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Pasal 39
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung jawab dalam pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara.
(2) Pembangunan rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

– 29 –

(3) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi barang milik negara/daerah dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40
(1) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab:

a. membangun rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara;
b. menyediakan tanah bagi perumahan; dan
c. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian.

Pasal 41
(1) Pembangunan rumah negara dilakukan untuk mewujudkan ketertiban penyediaan, penghunian, pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas rumah yang dimiliki negara.
(2) Pembangunan rumah negara diselenggarakan berdasarkan pada tipe dan kelas bangunan serta pangkat dan golongan pegawai negeri di atas tanah yang sudah jelas status haknya.

– 30 –

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, penyediaan, penghunian, pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas rumah yang dimiliki negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 42
(1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

a. status pemilikan tanah;
b. hal yang diperjanjikan;
c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;
d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
e. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 43

(1) Pembangunan untuk rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun, dapat dilakukan di atas tanah:
a. hak milik;

– 31 –
b. hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas hak pengelolaan; atau
c. hak pakai di atas tanah negara.

(2) Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah.
(3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani hak tanggungan.
(4) Kredit atau pembiayaan rumah umum tidak harus dibebani hak tanggungan.

Pasal 44
(1) Pembangunan rumah tunggal, rumah deret, rumah susun, dan/atau satuan rumah susun dapat dibebankan jaminan utang sebagai pelunasan kredit atau pembiayaan.
(2) Pelunasan kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.

Pasal 45

Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun tidak boleh melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli, sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).

Pasal 46

Ketentuan mengenai rumah susun diatur tersendiri dengan undang-undang.

Paragraf 3 .

– 32 -Paragraf 3
Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum

Pasal 47
(1) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.
(2) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum wajib dilakukan sesuai dengan rencana, rancangan, dan perizinan.
(3) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan harus memenuhi persyaratan:

a. kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah;
b. keterpaduan antara prasarana, sarana, dan utilitas umum dan lingkungan hunian; dan
c. ketentuan teknis pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
(4) Prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah selesai dibangun oleh setiap orang harus diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima Pemanfaatan Perumahan

Paragraf 1 Umum

Pasal 48

(1) Pemanfaatan perumahan digunakan sebagai fungsi hunian.

(2) Pemanfaatan .

– 33 –

(2) Pemanfaatan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan hunian meliputi:
a. pemanfaatan rumah;
b. pemanfaatan prasarana dan sarana perumahan; dan
c. pelestarian rumah, perumahan, serta prasarana dan sarana perumahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2 Pemanfaatan Rumah

Pasal 49
(1) Pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai kegiatan usaha secara terbatas tanpa membahayakan dan tidak mengganggu fungsi hunian.
(2) Pemanfaatan rumah selain digunakan untuk fungsi hunian harus memastikan terpeliharanya perumahan dan lingkungan hunian.
(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah.

Paragraf 3 Penghunian

Pasal 50
(1) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah.
(2) Hak untuk menghuni rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. hak milik; atau
b. sewa atau bukan dengan cara sewa.

– 34 –

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghunian dengan cara sewa menyewa dan cara bukan sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
(1) Penghunian rumah negara diperuntukan sebagai tempat tinggal atau hunian untuk menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
(2) Rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dihuni selama yang bersangkutan menjabat atau menjalankan tugas kedinasan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghunian rumah negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 52
(1) Orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai.
(2) Ketentuan mengenai orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam Pengendalian Perumahan

Pasal 53
(1) Pengendalian perumahan dimulai dari tahap: a. perencanaan;

b. pembangunan .

– 35 –
b. pembangunan; dan
c. pemanfaatan.

(2) Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam bentuk:

a. perizinan;
b. penertiban; dan/atau
c. penataan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh Kemudahan Pembangunan dan Perolehan Rumah bagi MBR

Pasal 54
(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi
MBR.
(2) Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan.
(3) Kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a. subsidi perolehan rumah;
b. stimulan rumah swadaya;

c. insentif .

– 36 –
c. insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
d. perizinan;
e. asuransi dan penjaminan;
f. penyediaan tanah;
g. sertifikasi tanah; dan/atau
h. prasarana, sarana, dan utilitas umum.

(4) Pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dituangkan dalam akta perjanjian kredit atau pembiayaan untuk perolehan rumah bagi MBR.
(5) Ketentuan mengenai kriteria MBR dan persyaratan
kemudahan perolehan rumah bagi MBR sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 55
(1) Orang perseorangan yang memiliki rumah umum dengan kemudahan yang diberikan Pemerintah atau pemerintah daerah hanya dapat menyewakan dan / atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah kepada pihak lain, dalam hal:

a. pewarisan;
b. penghunian setelah jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun; atau
c. pindah tempat tinggal karena tingkat sosial ekonomi yang lebih baik.
(2) Dalam hal dilakukan pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, pengalihannya wajib dilaksanakan oleh lembaga yang ditunjuk atau dibentuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam bidang perumahan dan permukiman.

– 37 –
(3) Jika pemilik meninggalkan rumah secara terus-menerus dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun tanpa memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian, Pemerintah atau pemerintah daerah berwenang mengambil alih kepemilikan rumah tersebut.
(4) Rumah yang telah diambil alih oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib didistribusikan kembali kepada MBR.
(5) Ketentuan mengenai penunjukkan dan pembentukan lembaga oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PENYELENGGARAAN KAWASAN PERMUKIMAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 56

(1) Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.

(2) Penyelenggaraan .

– 38 –
(2) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian bermukim.

Pasal 57

Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung perikehidupan dan penghidupan di perkotaan dan di perdesaan.

Pasal 58
(1) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan permukiman yang terpadu dan berkelanjutan.
(2) Arahan pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. hubungan antarkawasan fungsional sebagai bagian lingkungan hidup di luar kawasan lindung;
b. keterkaitan lingkungan hunian perkotaan dengan lingkungan hunian perdesaan;
c. keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian perkotaan dan pengembangan kawasan perkotaan
d. keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian perdesaan dan pengembangan kawasan perdesaan;
e. keserasian tata kehidupan manusia dengan lingkungan hidup;
f. keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan setiap orang; dan

g. lembaga .

– 39 –

g. lembaga yang mengoordinasikan pengembangan kawasan permukiman.
(3) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. pengembangan yang telah ada;
b. pembangunan baru; atau
c. pembangunan kembali.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai arahan pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 59
(1) Penyelenggaraan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilakukan melalui:

a. pengembangan lingkungan hunian perkotaan;
b. pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan; atau
c. pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan.
(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perkotaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perkotaan;
b. peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan;
c. peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan hunian perkotaan;
d. penetapan bagian lingkungan hunian perkotaan yang dibatasi dan yang didorong pengembangannya;

e. pencegahan …

– 40 –
e. pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh; dan
f. pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak terencana dan tidak teratur.

(3) Penyelenggaraan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. penyediaan lokasi permukiman;
b. penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan
c. penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pasal 60
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan, pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan, dan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan, pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan, dan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah.
(3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat membentuk atau menunjuk badan hukum.
(4) Pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(5) Khusus .

– 41 –

(5) Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh gubernur.

Pasal 61
(1) Penyelenggaraan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilakukan melalui:

a. pengembangan lingkungan hunian perdesaan;
b. pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan; atau
c. pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan.
(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup :

a. peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perdesaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perdesaan;
b. peningkatan pelayanan lingkungan hunian perdesaan;
c. peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan hunian perdesaan;
d. penetapan bagian lingkungan hunian perdesaan yang dibatasi dan yang didorong pengembangannya;
e. peningkatan kelestarian alam dan potensi sumber daya perdesaan; dan
f. pengurangan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan.
(3) Penyelenggaraan pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

– 42 –
a. penyediaan lokasi permukiman;
b. penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan
c. penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pasal 62
(1) Pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dan pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dimaksudkan untuk memulihkan fungsi lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.
(2) Pembangunan kembali dilakukan dengan cara:

a. rehabilitasi;
b. rekonstruksi; atau
c. peremajaan.
(3) Pembangunan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap melindungi masyarakat penghuni untuk dimukimkan kembali di lokasi yang sama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 63
Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dilaksanakan melalui tahapan:
a. perencanaan;
b. pembangunan;
c. pemanfaatan; dan
d. pengendalian.

Bagian Kedua …

– 43 –

Bagian Kedua Perencanaan Kawasan Permukiman

Pasal 64
(1) Perencanaan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
(2) Perencanaan kawasan permukiman dimaksudkan untuk menghasilkan dokumen rencana kawasan permukiman sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan kawasan permukiman.
(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan hunian dan digunakan untuk tempat kegiatan pendukung dalam jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang.
(4) Perencanaan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang.
(5) Dokumen rencana kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh bupati/walikota.

(6) Perencanaan kawasan permukiman harus mencakup:
a. peningkatan sumber daya perkotaan atau perdesaan;
b. mitigasi bencana; dan
c. penyediaan atau peningkatan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

– 44 –

Pasal 65

Perencanaan kawasan permukiman terdiri atas perencanaan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan serta perencanaan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Pasal 66
(1) Perencanaan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dilakukan melalui:

a. perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan;
b. perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan; atau
c. perencanaan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan.
(2) Perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. penyusunan rencana peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perkotaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perkotaan;
b. penyusunan rencana peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan;
c. penyusunan rencana peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan hunian perkotaan;
d. penyusunan rencana pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh; dan
e. penyusunan rencana pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak terencana dan tidak teratur.

(3) Perencanaan .

– 45 –
(3) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

a. penyusunan rencana penyediaan lokasi permukiman;
b. penyusunan rencana penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan
c. penyusunan rencana lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
(4) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi perencanaan lingkungan hunian baru skala besar dengan Kasiba dan perencanaan lingkungan hunian baru bukan skala besar dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
(5) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan penetapan lokasi pembangunan lingkungan hunian baru yang dapat diusulkan oleh badan hukum bidang perumahan dan permukiman atau pemerintah daerah.
(6) Lokasi pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota.
(7) Penetapan lokasi pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan;

a. rencana pembangunan perkotaan atau perdesaan;
b. rencana penyediaan tanah; dan
c. analisis mengenai dampak lalu lintas dan lingkungan

– 46 –

Pasal 67
(1) Perencanaan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dilakukan melalui:

a. pengembangan lingkungan hunian perdesaan;
b. pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan; atau
c. pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan.
(2) Perencanaan pengembangan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. penyusunan rencana peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perdesaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perdesaan;
b. penyusunan rencana peningkatan pelayanan lingkungan hunian perdesaan;
c. penyusunan rencana peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan hunian perdesaan;
d. penyusunan rencana penetapan bagian lingkungan hunian perdesaan yang dibatasi dan yang didorong pengembangannya; dan
e. penyusunan rencana peningkatan kelestarian alam dan potensi sumber daya perdesaan.
(3) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

a. penyusunan rencana penyediaan lokasi permukiman;
b. penyusunan rencana penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan

c. penyusunan .

– 47 –

c. penyusunan rencana penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi;.

Pasal 68
(1) Perencanaan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c dan perencanaan pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c dimaksudkan untuk memulihkan fungsi lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.
(2) Perencanaan pembangunan kembali dilakukan dengan cara:

a. penyusunan rencana rehabilitasi;
b. penyusunan rencana rekonstruksi; atau
c. penyusunan rencana peremajaan.

Pasal 69
(1) Perencanaan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 meliputi perencanaan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, kegiatan ekonomi, dan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
(2) Perencanaan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

– 48 –

Pasal 70

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan, pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan dan perdesaan, dan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.

Bagian Ketiga Pembangunan Kawasan Permukiman

Pasal 71
(1) Pembangunan kawasan permukiman harus mematuhi rencana dan izin pembangunan lingkungan hunian dan kegiatan pendukung.
(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

Pasal 72

Pembangunan kawasan permukiman terdiri atas pembangunan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan serta pembangunan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan.

Pasal 73

(1) Pembangunan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilakukan melalui:
a. pelaksanaan pengembangan lingkungan hunian;
b. pelaksanaan pembangunan lingkungan hunian baru; atau

c. pelaksanaan .

– 49 –

c. pelaksanaan pembangunan kembali lingkungan hunian.

(2) Pelaksanaan pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. pembangunan permukiman;
b. pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan
c. pembangunan lokasi pelayanan jasa pemerintahan dan pelayanan sosial.

Pasal 74
(1) Pembangunan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 meliputi pembangunan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, kegiatan ekonomi, dan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
(2) Pembangunan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 75

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengembangan lingkungan hunian, pembangunan lingkungan hunian baru, dan pembangunan kembali lingkungan hunian.

Bagian Keempat .

– 50 –

Bagian Keempat Pemanfaatan Kawasan Permukiman

Pasal 76

Pemanfaatan kawasan permukiman dilakukan untuk:
a. menjamin kawasan permukiman sesuai dengan fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah; dan
b. mewujudkan struktur ruang sesuai dengan perencanaan kawasan permukiman.

Pasal 77

Pemanfaatan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 terdiri atas pemanfaatan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan serta pemanfaatan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan.

Pasal 78
(1) Pemanfaatan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dilakukan melalui:

a. pemanfaatan hasil pengembangan lingkungan hunian;
b. pemanfaatan hasil pembangunan lingkungan hunian baru; atau
c. pemanfaatan hasil pembangunan kembali lingkungan hunian.
(2) Pemanfaatan hasil pembangunan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:

a. tempat tinggal;
b. prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan

– 51 –

c. lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pasal 79
(1) Pemanfaatan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 meliputi pemanfaatan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, kegiatan ekonomi, dan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
(2) Pemanfaatan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam pemanfaatan hasil pengembangan lingkungan hunian, pembangunan lingkungan hunian baru, dan pembangunan kembali lingkungan hunian di perkotaan atau perdesaan.

Bagian Kelima Pengendalian Kawasan Permukiman

Paragraf 1 Umum

Pasal 81
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melaksanakan pengendalian dalam penyelenggaraan kawasan permukiman.
(2) Pengendalian kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:

a. menjamin .

– 52 –
a. menjamin pelaksanaan pembangunan permukiman dan pemanfaatan permukiman sesuai dengan rencana kawasan permukiman;
b. mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh; dan
c. mencegah terjadinya tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak terencana dan tidak teratur.

Pasal 82

(1) Pengendalian dalam penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dilakukan pada tahap:
a. perencanaan;
b. pembangunan; dan
c. pemanfaatan.

(2) Pengendalian kawasan permukiman dilakukan pada lingkungan hunian perkotaan dan lingkungan hunian perdesaan.
(3) Pengendalian penyelenggaraan lingkungan hunian perkotaan dilaksanakan pada:

a. pengembangan perkotaan; atau
b. perkotaan baru.

(4) Pengendalian penyelenggaraan lingkungan hunian perdesaan dilaksanakan pada pengembangan perdesaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan/atau budaya perdesaan.

Paragraf 2 .

– 53 –

Paragraf 2
Pengendalian Perencanaan Kawasan Permukiman

Pasal 83
(1) Pengendalian pada tahap perencanaan dilakukan dengan:

a. mengawasi rencana penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum sesuai dengan standar pelayanan minimal; dan
b. memberikan batas zonasi lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung.
(2) Pengendalian perencanaan kawasan permukiman dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Paragraf 3
Pengendalian Pembangunan Kawasan Permukiman

Pasal 84
(1) Pengendalian pada tahap pembangunan dilakukan dengan mengawasi pelaksanaan pembangunan pada kawasan permukiman.
(2) Pengendalian dilakukan untuk menjaga kualitas kawasan permukiman.
(3) Pengendalian pada tahap pembangunan yang dilakukan dengan mengawasi pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
(4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kegiatan pengamatan terhadap penyelenggaraan kawasan permukiman secara langsung, tidak langsung, dan/atau melalui laporan masyarakat.

(5) Evaluasi …

– 54 –
(5) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kegiatan penilaian terhadap tingkat pencapaian penyelenggaraan kawasan permukiman secara terukur dan objektif.
(6) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kegiatan penyampaian hasil evaluasi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan penyelenggaraan kawasan permukiman diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4
Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Permukiman

Pasal 85
(1) Pengendalian pada tahap pemanfaatan dilakukan dengan:

a. pemberian insentif;
b. pengenaan disinsentif; dan
c. pengenaan sanksi.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:

a. insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. pemberian kompensasi;
c. subsidi silang;
d. pembangunan serta pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan / atau
e. kemudahan prosedur perizinan.
(3) Pengenaan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:

a. pengenaan .

– 55 –
a. pengenaan retribusi daerah;
b. pembatasan penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
c. pengenaan kompensasi; dan/atau
d. pengenaan sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.

(4) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dapat dilakukan oleh:

a. Pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya;
c. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan hukum; atau
d. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif, pengenaan disinsentif, dan pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PEMELIHARAAN DAN PERBAIKAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 86

(1) Pemeliharaan dan perbaikan dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan permukiman yang dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup orang perorangan.

(2) Pemeliharaan .

– 56 –
(2) Pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman.
(3) Pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.

Pasal 87

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan perbaikan prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.

Bagian Kedua Pemeliharaan

Pasal 88
(1) Pemeliharaan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum dilakukan melalui perawatan dan pemeriksaan secara berkala.
(2) Pemeliharaan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh setiap orang.

Pasal 89
(1) Pemeliharaan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk perumahan, dan permukiman wajib dilakukan oleh pemerintah daerah dan/atau setiap orang.
(2) Pemeliharaan sarana dan utilitas umum untuk lingkungan hunian wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

– 57 –

(3) Pemeliharaan prasarana untuk kawasan permukiman wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

Pasal 90

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Perbaikan

Pasal 91

Perbaikan rumah dan prasarana, sarana, atau utilitas umum dilakukan melalui rehabilitasi atau pemugaran.

Pasal 92
(1) Perbaikan rumah wajib dilakukan oleh setiap orang.
(2) Perbaikan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk perumahan dan permukiman wajib dilakukan oleh pemerintah daerah dan/atau setiap orang.
(3) Perbaikan sarana dan utilitas umum untuk lingkungan hunian wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.
(4) Perbaikan prasarana untuk kawasan permukiman wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

Pasal 93

Ketentuan lebih lanjut mengenai perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

– 58 -BAB VIII
PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS TERHADAP PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

Bagian Kesatu Umum

Pasal 94
(1) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh guna meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni dilakukan untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru serta untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi perumahan dan permukiman.
(2) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pada prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki tempat tinggal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.

Bagian Kedua .

– 59 –

Bagian Kedua Pencegahan

Pasal 95
(1) Pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru mencakup:

a. ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi;
b. ketidaklengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
c. penurunan kualitas rumah, perumahan, dan permukiman, serta prasarana, sarana dan utilitas umum; dan
d. pembangunan rumah, perumahan, dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. pengawasan dan pengendalian; dan
b. pemberdayaan masyarakat.
(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan atas kesesuaian terhadap perizinan, standar teknis, dan kelaikan fungsi melalui pemeriksaan secara berkala sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan terhadap pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawasan permukiman melalui pendampingan dan pelayanan informasi.

(5) Pencegahan …

– 60 –
(5) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan / atau setiap orang.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Peningkatan Kualitas

Paragraf 1 Umum

Pasal 96

Dalam upaya peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan kebijakan, strategi, serta pola-pola penanganan yang manusiawi, berbudaya, berkeadilan, dan ekonomis.

Pasal 97

(1) Peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 didahului dengan penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh dengan pola-pola penanganan:
a. pemugaran;
b. peremajaan; atau
c. pemukiman kembali.

(2) Pola-pola .

– 61 –

(2) Pola-pola penanganan terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan melalui pengelolaan untuk mempertahankan tingkat kualitas perumahan dan permukiman.

Paragraf 2 Penetapan Lokasi

Pasal 98
(1) Penetapan lokasi perumahan dan permukiman kumuh wajib memenuhi persyaratan:

a. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
b. kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan lingkungan;
c. kondisi dan kualitas prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan dan tidak membahayakan penghuni;
d. tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan;
e. kualitas bangunan; dan
f. kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.
(2) Penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh wajib didahului proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah.

– 62 –

Paragraf 3 Pemugaran

Pasal 99

Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf a dilakukan untuk perbaikan dan/atau pembangunan kembali, perumahan dan permukiman menjadi perumahan dan permukiman yang layak huni.

Paragraf 4 Peremajaan

Pasal 100
(1) Peremajaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat sekitar.
(2) Peremajaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan terlebih dahulu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat terdampak.
(3) Kualitas rumah, perumahan, dan permukiman yang diremajakan harus diwujudkan secara lebih baik dari kondisi sebelumnya.
(4) Peremajaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran masyarakat.

Paragraf 5 .

– 63 –

Paragraf 5 Pemukiman Kembali

Pasal 101
(1) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf c dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, dan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat.
(2) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.

Pasal 102
(1) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
(2) Lokasi yang akan ditentukan sebagai tempat untuk pemukiman kembali ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

Paragraf 6 Pengelolaan

Pasal 103
(1) Pengelolaan dilakukan untuk mempertahankan dan menjaga kualitas perumahan dan permukiman secara berkelanjutan.
(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat secara swadaya.

– 64 –

(3) Pengelolaan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh pemerintah daerah.

Bagian Keempat Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 104

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan lokasi, pemugaran, peremajaan, pemukiman kembali, dan pengelolaan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX PENYEDIAAN TANAH

Pasal 105
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab atas ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
(2) Ketersediaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk penetapannya di dalam rencana tata ruang wilayah merupakan tanggung jawab pemerintahan daerah.

Pasal 106

Penyediaan tanah untuk pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman dapat dilakukan melalui:
a. pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara;
b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;

c. peralihan .

– 65 –
c. peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;
d. pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar; dan/atau
f. pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107
(1) Tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan, dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman.
(2) Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada keputusan gubernur atau bupati/walikota tentang penetapan lokasi atau izin lokasi.
(3) Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku pembangunan perumahan dan permukiman selaku pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan.
(4) Dalam hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelesaiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

– 66 –

Pasal 108
(1) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dapat dilakukan di atas tanah milik pemegang hak atas tanah dan/atau di atas tanah negara yang digarap oleh masyarakat.
(2) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan:

a. antarpemegang hak atas tanah;
b. antarpenggarap tanah negara; atau
c. antara penggarap tanah negara dan pemegang hak atas tanah.
(3) Konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya.
(4) Kesepakatan paling sedikit 60% (enam puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi hak masyarakat sebesar 40% (empat puluh persen) untuk mendapatkan aksesibilitas.

Pasal 109
(1) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dapat dilaksanakan bagi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.
(2) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh bupati / walikota.
(3) Khusus untuk DKI Jakarta, penetapan lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh gubernur.

– 67 –

(4) Lokasi konsolidasi tanah yang sudah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak memerlukan izin lokasi.

Pasal 110

Dalam pembangunan rumah umum dan rumah swadaya yang didirikan di atas tanah hasil konsolidasi, Pemerintah wajib memberikan kemudahan berupa:
a. sertifikasi hak atas tanah;
b. penetapan lokasi;
c. desain konsolidasi; dan
d. pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

Pasal 111
(1) Sertifikasi terhadap pemilik tanah hasil konsolidasi tidak dikenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
(2) Sertifikasi terhadap penggarap tanah negara hasil konsolidasi dikenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Pasal 112
(1) Konsolidasi tanah dapat dilaksanakan melalui kerja sama dengan badan hukum.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara penggarap tanah negara dan/atau pemegang hak atas tanah dan badan hukum dengan prinsip kesetaraan yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.

Pasal 113

Ketentuan lebih lanjut mengenai konsolidasi tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

– 68 –

Pasal 114
(1) Peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c dilakukan setelah badan hukum memperoleh izin lokasi.
(2) Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah setelah ada kesepakatan bersama.
(3) Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
(4) Peralihan hak atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 115
(1) Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf d bagi pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum dan/atau rumah khusus.
(2) Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 116 …

– 69 –

Pasal 116

(1) Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf e bagi pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan penataan permukiman kumuh.

(2) Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 117

(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf f bagi pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan penataan permukiman kumuh.

(2) Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X …

– 70 –

BAB X
PENDANAAN DAN SISTEM PEMBIAYAAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 118
(1) Pendanaan dan sistem pembiayaan dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong pemberdayaan sistem pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kedua Pendanaan

Pasal 119

Sumber dana untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan berasal dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
c. sumber dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 120

Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dimanfaatkan untuk mendukung:

a. penyelenggaraan .

– 71 –
a. penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan/atau
b. kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR sesuai dengan standar pelayanan minimal.

Bagian Ketiga Sistem Pembiayaan

Paragraf 1 Umum

Pasal 121
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
(2) Pengembangan sistem pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. lembaga pembiayaan;
b. pengerahan dan pemupukan dana;
c. pemanfaatan sumber biaya; dan
d. kemudahan atau bantuan pembiayaan.
(3) Sistem pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip konvensional atau prinsip syariah melalui:

a. pembiayaan primer perumahan; dan/atau
b. pembiayaan sekunder perumahan.

Paragraf 2 .

– 72 –

Paragraf 2 Lembaga Pembiayaan

Pasal 122
(1) Pemerintah atau pemerintah daerah dapat menugasi atau membentuk badan hukum pembiayaan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
(2) Badan hukum pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas menjamin ketersediaan dana murah jangka panjang untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
(3) Dalam hal pembangunan dan pemilikan rumah umum dan swadaya, badan hukum pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjamin:

a. ketersediaan dana murah jangka panjang;
b. kemudahan dalam mendapatkan akses kredit atau pembiayaan; dan
c. keterjangkauan dalam membangun, memperbaiki, atau memiliki rumah.
(4) Penugasan dan pembentukan badan hukum pembiayaan di bidang perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3 Pengerahan dan Pemupukan Dana

Pasal 123

(1) Pengerahan dan pemupukan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (2) huruf b meliputi:
a. dana masyarakat;

b. dana .

– 73 –
b. dana tabungan perumahan termasuk hasil investasi atas kelebihan likuiditas; dan / atau
c. dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab mendorong pemberdayaan bank dalam pengerahan dan pemupukan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman secara berkelanjutan.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong pemberdayaan lembaga keuangan bukan bank dalam pengerahan dan pemupukan dana tabungan perumahan dan dana lainnya khusus untuk perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c bagi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengerahan dan pemupukan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 124

Ketentuan mengenai tabungan perumahan diatur tersendiri dengan undang-undang.

Paragraf 4 Pemanfaatan Sumber Biaya

Pasal 125
Pemanfaatan sumber biaya digunakan untuk pembiayaan:
a. konstruksi;
b. perolehan rumah;
c. pembangunan rumah, rumah umum, atau perbaikan rumah swadaya;

d. pemeliharaan …

– 74 –
d. pemeliharaan dan perbaikan rumah;
e. peningkatan kualitas perumahan dan kawasan permukiman; dan/atau
f. kepentingan lain di bidang perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5 Kemudahan dan Bantuan Pembiayaan

Pasal 126
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan untuk pembangunan dan perolehan rumah umum dan rumah swadaya bagi MBR.
(2) Dalam hal pemanfaatan sumber biaya yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum atau rumah swadaya, MBR selaku pemanfaat atau pengguna yang mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan wajib mengembalikan pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. skema pembiayaan;
b. penjaminan atau asuransi; dan/atau
c. dana murah jangka panjang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 6 .

– 75 –

Paragraf 6 Pembiayaan Primer

Pasal 127
(1) Pembiayaan primer perumahan dilaksanakan oleh badan hukum.
(2) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga keuangan sebagai penyalur kredit atau pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 7 Pembiayaan Sekunder

Pasal 128
(1) Pembiayaan sekunder perumahan berfungsi memberikan fasilitas pembiayaan untuk meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perolehan rumah.
(2) Pembiayaan sekunder perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga keuangan bukan bank.
(3) Lembaga keuangan bukan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan sekuritisasi aset pembiayaan perolehan rumah yang hasilnya sepenuhnya diperuntukkan keberlanjutan fasilitas pembiayaan perolehan rumah untuk MBR.
(4) Sekuritisasi aset pembiayaan perolehan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui pasar modal.

BAB XI …

– 76 –

BAB XI
HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 129
Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:
a. menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;
b. melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
c. memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
d. memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
e. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan
f. mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat.

Pasal 130

Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang wajib:
a. menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di perumahan dan kawasan permukiman;
b. turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan dan membahayakan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum;
c. menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan permukiman; dan

d. mengawasi .

– 77 –

d. mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.

BAB XII
PERAN MASYARAKAT

Pasal 131
(1) Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikan masukan dalam:

a. penyusunan rencana pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
b. pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;
c. pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman;
d. pemeliharaan dan perbaikan perumahan dan kawasan permukiman; dan/atau
e. pengendalian penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;
(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan membentuk forum pengembangan perumahan dan kawasan permukiman.

Pasal 132
(1) Forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (3) mempunyai fungsi dan tugas:
a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;
b. membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

c. meningkatkan .

– 78 –
c. meningkatkan peran dan pengawasan masyarakat;
d. memberikan masukan kepada Pemerintah; dan/atau
e. melakukan peran arbitrase dan mediasi di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

(2) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari unsur:
a. instansi pemerintah yang terkait dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman;
b. asosiasi perusahaan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman;
c. asosiasi profesi penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman;
d. asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman;
e. pakar di bidang perumahan dan kawasan permukiman; dan/atau
f. lembaga swadaya masyarakat dan/atau yang mewakili konsumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

Pasal 133

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2), serta forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (3) dan Pasal 132 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XIII …

– 79 –

BAB XIII
LARANGAN Pasal 134
Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.

Pasal 135

Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain.

Pasal 136

Setiap orang dilarang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan perumahan atau Lisiba.

Pasal 137

Setiap orang dilarang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum menyelesaikan status hak atas tanahnya.

Pasal 138

Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.

Pasal 139 .

– 80 –

Pasal 139

Setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman.

Pasal 140

Setiap orang dilarang membangun, perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.

Pasal 141

Setiap pejabat dilarang mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang.

Pasal 142

Setiap orang dilarang menolak atau menghalang-halangi kegiatan pemukiman kembali rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan masyarakat setempat.

Pasal 143

Setiap orang dilarang menginvestasikan dana dari pemupukan dana tabungan perumahan selain untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

Pasal 144

Badan Hukum yang menyelenggarakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, dilarang mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum di luar fungsinya.

– 81 –

Pasal 145
(1) Badan hukum yang belum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba, dilarang menjual satuan permukiman.
(2) Orang perseorangan dilarang membangun Lisiba.

Pasal 146
(1) Badan hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.
(2) Dalam hal pembangunan perumahan untuk MBR dengan kaveling tanah matang ukuran kecil, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan.

BAB XIV PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 147

Penyelesaian sengketa di bidang perumahan terlebih dahulu diupayakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Pasal 148

(1) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada di lingkungan pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa.

(2) Penyelesaian .

– 82 –
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, dan/atau penilaian ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana.

Pasal 149

Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) atas pelanggaran dapat dilakukan oleh:
a. orang perseorangan;
b. badan hukum;
c. masyarakat; dan/atau
d. pemerintah dan/atau instansi terkait.

BAB XV
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 150

(1) Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal 45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal
145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi …

– 83 –
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan;
e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
f. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;
g. pembatasan kegiatan usaha;
h. pembekuan izin mendirikan bangunan;
i. pencabutan izin mendirikan bangunan;
j. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah;
k. perintah pembongkaran bangunan rumah; l. pembekuan izin usaha; m. pencabutan izin usaha; n. pengawasan; o. pembatalan izin;
p. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu;
q. pencabutan insentif;
r. pengenaan denda administratif; dan/atau s. penutupan lokasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVI .

– 84 –

BAB XVI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 151
(1) Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.

Pasal 152

Setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 153
(1) Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin.

– 85 –

Pasal 154

Setiap orang yang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum menyelesaikan status hak atas tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 155

Badan hukum yang dengan sengaja melakukan serah terima dan/atau menerima pembayaran lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

Pasal 156

Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 157

Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 158 .

– 86 –

Pasal 158

Setiap pejabat yang dengan sengaja mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 159

Setiap orang yang dengan sengaja menolak atau menghalang-halangi kegiatan pemukiman kembali rumah, perumahan, atau permukiman yang telah ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
142, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 160

Setiap orang yang dengan sengaja menginvestasikan dana dari pemupukan dana tabungan perumahan selain untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
143, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).

Pasal 161

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membangun Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Selain …

– 87 –

(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dipidana dengan pidana tambahan berupa pembongkaran Lisiba yang biayanya ditanggung oleh pelaku.

Pasal 162
(1) Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), Badan Hukum yang:

a. mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144;
b. menjual satuan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1); atau
c. membangun lisiba yang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1).
(2) Selain pidana bagi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurus badan hukum dapat dijatuhi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 163

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1), Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, Pasal 156, Pasal 157, Pasal 160, atau Pasal 161 dilakukan oleh badan hukum, maka selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.

BAB XVII …

– 88 –

BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 164
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469), dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai perumahan dan permukiman, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 165
(1) Semua peraturan pelaksanaan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Semua kelembagaan yang perlu dibentuk atau yang perlu ditingkatkan statusnya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini sudah terbentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Pasal 166
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 167
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar .

– 89 –

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2011

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 7

Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,

Setio Sapto Nugroho

PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG
PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia.

Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pembangunan …

– 2 –

Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung.

Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:
a. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;
b. ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;
c. mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;
d. memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan
e. mendorong iklim investasi asing.

Sejalan dengan arah kebijakan umum tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di daerah perdesaan yang ketersediaan lahannya lebih luas perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pengelolaannya. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dalam bentuk pemberian kemudahan pembiayaan dan/atau pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan hunian.

Penyelenggaraan .

– 3 –

Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman tidak hanya melakukan pembangunan baru, tetapi juga melakukan pencegahan serta pembenahan perumahan dan kawasan permukiman yang telah ada dengan melakukan pengembangan, penataan, atau peremajaan lingkungan hunian perkotaan atau perdesaan serta pembangunan kembali terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Untuk itu, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman perlu dukungan anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan belanja daerah, lembaga pembiayaan, dan/atau swadaya masyarakat. Dalam hal ini, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat perlu melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan perumahan dan permukiman secara menyeluruh dan terpadu.

Di samping itu, sebagai bagian dari masyarakat internasional yang turut menandatangani Deklarasi Rio de Janeiro, Indonesia selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for Human Settlements. Jiwa dan semangat yang tertuang dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II adalah bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Dalam Agenda 21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia. Hal itu telah sesuai pula dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengaturan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR, meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di lingkungan hunian perkotaan maupun lingkungan hunian perdesaan, dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Penyelenggaraan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan

– 4 –

dan pemerataan kesejahteraan rakyat, yang meliputi perencanaan perumahan, pembangunan perumahan, pemanfaatan perumahan dan pengendalian perumahan.

Salah satu hal khusus yang diatur dalam undang-undang ini adalah keberpihakan negara terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam kaitan ini, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu, dengan memberikan kemudahan, berupa pembiayaan, pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum, keringanan biaya perizinan, bantuan stimulan, dan insentif fiskal.

Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang. Penyelenggaraan kawasan permukiman tersebut bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian bermukim, yang wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan permukiman yang terpadu dan berkelanjutan.

Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman ini juga mencakup pemeliharaan dan perbaikan yang dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan permukiman agar dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup orang perseorangan yang dilakukan terhadap rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Di samping itu, juga dilakukan pengaturan pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian bermukim yang menjamin

hak …

– 5 –

hak setiap warga negara untuk menempati, memiliki, dan/atau menikmati tempat tinggal, yang dilaksanakan sejalan dengan kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kesejahteraan” adalah memberikan landasan agar kebutuhan perumahan dan kawasan permukiman yang layak bagi masyarakat dapat terpenuhi sehingga masyarakat mampu mengembangkan diri dan beradab, serta dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keadilan dan pemerataan” adalah memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kenasionalan” adalah memberikan landasan agar hak kepemilikan tanah hanya berlaku untuk warga negara Indonesia, sedangkan hak menghuni dan menempati oleh orang asing hanya dimungkinkan dengan cara hak sewa atau hak pakai atas rumah.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas keefisienan dan kemanfaatan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki berupa sumber daya

– 6 –

tanah, teknologi rancang bangun, dan industri bahan bangunan yang sehat untuk memberikan keuntungan dan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas keterjangkauan dan kemudahan” adalah memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR agar setiap warga negara Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dasar akan perumahan dan permukiman.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian dan kebersamaan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman bertumpu pada prakarsa, swadaya, dan peran masyarakat untuk turut serta mengupayakan pengadaan dan pemeliharaan terhadap aspek-aspek perumahan dan kawasan permukiman sehingga mampu membangkitkan kepercayaan, kemampuan, dan kekuatan sendiri, serta terciptanya kerja sama antara pemangku kepentingan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.

Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran pelaku usaha dan masyarakat, dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik langsung maupun tidak langsung.

Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang,

keselarasan .

– 7 –

keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta memperhatikan dampak penting terhadap lingkungan.

Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilaksanakan dengan memadukan kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian, baik intra- maupun antarinstansi serta sektor terkait dalam kesatuan yang bulat dan utuh, saling menunjang, dan saling mengisi.

Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas kesehatan” adalah memberikan landasan agar pembangunan perumahan dan kawasan permukiman memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan lingkungan, dan perilaku hidup sehat.

Huruf k
Yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah memberikan landasan agar penyediaan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan memperhatikan kondisi lingkungan hidup, dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju kenaikan jumlah penduduk dan luas kawasan secara serasi dan seimbang untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Huruf l
Yang dimaksud dengan “keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman memperhatikan masalah keselamatan dan keamanan bangunan beserta infrastrukturnya, keselamatan dan keamananan lingkungan dari berbagai ancaman yang membahayakan penghuninya, ketertiban administrasi, dan keteraturan dalam pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman.

– 8 –

Pasal 3
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan hukum bagi setiap orang untuk bertempat tinggal secara layak, baik yang bersifat milik maupun bukan milik melalui cara sewa dan cara bukan sewa. Jaminan hukum antara lain meliputi kesesuaian peruntukan dalam tata ruang, legalitas tanah, perizinan, dan kondisi kelayakan rumah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “penataan dan pengembangan wilayah” adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan, sebagai bagian utama dari pengembangan perkotaan dan perdesaan yang dapat mengarahkan persebaran penduduk dan mengurangi ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “daya guna dan hasil guna sumber daya alam” adalah kemampuan untuk meningkatkan segala potensi dan sumber daya alam tanpa mengganggu keseimbangan dan kelestarian fungsi lingkungan dalam rangka menjamin terwujudnya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berkualitas di lingkungan hunian perkotaan dan lingkungan hunian perdesaan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “memberdayakan para pemangku kepentingan” adalah upaya meningkatkan peran masyarakat dengan memobilisasi potensi dan sumber daya secara proporsional untuk mewujudkan perumahan dan kawasan permukiman yang madani. Para pemangku kepentingan antara lain meliputi masyarakat, swasta, lembaga keuangan, Pemerintah dan pemerintah daerah.

– 9 –

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “rumah yang layak huni dan terjangkau” adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya, yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan tata ruang, kesesuaian hak atas tanah dan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup Jelas

Ayat (2)
Cukup Jelas

Ayat (3)
Cukup Jelas

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “menjadi pedoman” adalah bahwa rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di daerah mengacu kepada rencana penyelenggaraan perumahan dan

– 10 –

kawasan permukiman Nasional, bukan untuk membatasi kewenangan daerah, tetapi agar ada acuan yang jelas, sinergis, dan keterkaitan dari setiap perencanaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di tingkat daerah, berdasarkan kewenangan otonomi yang dimilikinya sesuai dengan platform rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman nasional. Rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di daerah dijabarkan lebih lanjut berdasarkan visi dan misi kepala daerah yang diformulasikan dalam bentuk RPJM daerah.

Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “menjadi pedoman” adalah bahwa rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di tingkat kabupaten/kota mengacu kepada rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di tingkat provinsi.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Huruf j
Cukup jelas.

Huruf k
Cukup jelas.

Huruf l
Cukup jelas.

Huruf m
Cukup jelas.

– 11 –

– 12 –

Huruf n
Cukup jelas.

Huruf o
Cukup jelas.

Huruf p
Yang dimaksud dengan “pendampingan bagi orang perseorangan” adalah upaya memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat yang berprakarsa dan berupaya melakukan pembangunan rumah secara mandiri.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

– 13 –
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “kebutuhan khusus”, antara lain adalah kebutuhan untuk perumahan transmigrasi, pemukiman kembali korban bencana, dan rumah sosial untuk menampung orang lansia, masyarakat miskin, yatim piatu, dan anak terlantar, serta termasuk juga untuk pembangunan rumah yang lokasinya terpencar dan rumah di wilayah perbatasan negara.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “bantuan dan kemudahan” adalah dukungan dana dan kemudahan akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan rumahnya.

Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rumah tunggal” adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling.
Yang dimaksud dengan “rumah deret” adalah beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kaveling sendiri.
Yang dimaksud dengan “rumah susun” adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

– 14 –

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perencanaan” adalah kegiatan merencanakan kebutuhan ruang untuk setiap unsur rumah dan kebutuhan jenis prasarana yang melekat pada bangunan, dan keterkaitan dengan rumah lain serta prasarana di luar rumah.
Yang dimaksud dengan “perancangan” adalah kegiatan merancang bentuk, ukuran, dan tata letak, bahan bangunan, unsur rumah, serta perhitungan kekuatan konstruksi yang terdiri atas pondasi, dinding, dan atap, serta kebutuhan anggarannya.

Huruf b
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 24
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rumah yang layak huni” adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni.

Huruf b
Cukup jelas.

– 15 –

Huruf c
Yang dimaksud dengan “tata bangunan dan lingkungan” adalah kegiatan pembangunan untuk merencanakan, melaksanakan, memperbaiki, mengembangkan, atau melestarikan bangunan dan lingkungan tertentu sesuai dengan prinsip pemanfaatan ruang dan pengendalian bangunan gedung dan lingkungan secara optimal, yang terdiri atas proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan perbaikan bangunan gedung dan lingkungan.

Pasal 25
Yang dimaksud dengan “setiap orang yang memiliki keahlian” adalah setiap orang yang memiliki sertifikat keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kompetensi.

Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “persyaratan teknis” antara lain persyaratan tentang struktur bangunan, keamanan, keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan.
Yang dimaksud dengan “persyaratan administratif” antara lain perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, izin lokasi, peruntukannya, status hak atas tanah, dan/atau Izin Mendirikan Bangunan (1MB).
Yang dimaksud dengan “persyaratan ekologis” adalah persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan fungsi lingkungan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
Yang termasuk persyaratan ekologis antara lain analisis dampak lingkungan dalam pembangunan perumahan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

– 16 –

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “rencana kelengkapan prasarana” paling sedikit meliputi jalan, drainase, sanitasi, dan air minum. Yang dimaksud dengan “rencana kelengkapan sarana” paling sedikit meliputi rumah ibadah dan ruang terbuka hijau (RTH). Yang dimaksud dengan “rencana kelengkapan utilitas umum” paling sedikit meliputi, jaringan listrik termasuk KWH meter dan jaringan telepon.
Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan harus mempertimbangkan kebutuhan prasarana, sarana, dan utilitas umum bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan fisik, misalnya penyandang cacat dan lanjut usia.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rencana penyediaan kaveling tanah” dalam ketentuan ini adalah penyediaan sebidang tanah yang dibagi dengan ukuran tertentu yang dipersiapkan sebagai dasar perencanaan kebutuhan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk perumahan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

– 17 –

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian kemudahan perizinan bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha bagi badan hukum di bidang perumahan dan permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hunian berimbang” adalah perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perumahan skala besar” adalah perumahan yang direncanakan secara menyeluruh dan terpadu yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

– 18 –

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “tipologi” adalah klasifikasi rumah yang berupa rumah tapak atau rumah susun berdasarkan bentuk permukaan tanah, tempat rumah berdiri meliputi rumah di atas tanah keras, rumah di atas tanah lunak, rumah di garis pantai/pasang surut, rumah di atas air/terapung (menetap), rumah di atas air/terapung (berpindah-pindah).
Yang dimaksud dengan “ekologi” adalah persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.
Yang dimaksud dengan “budaya” adalah klasifikasi rumah berdasarkan hasil akal budi/adat istiadat manusia yang diwujudkan dalam bentuk dan arsitektural dan kelengkapan ruangan rumah.
Yang dimaksud dengan “dinamika ekonomi” adalah kondisi permintaan masyarakat dari berbagai selera yang dipengaruhi oleh tingkat keterjangkauan dan kebutuhan rumah.

– 19 –

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “perjanjian pendahuluan jual beli” adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan “hal yang diperjanjikan” adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen, yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/kaveling, bentuk rumah, spesifikasi bangunan, harga rumah, prasarana, sarana, dan utilitas

umum …

– 20 –

umum perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen)” adalah hal telah terbangunnya rumah paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh jumlah unit rumah serta ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemilikan rumah” adalah pemilikan rumah berikut hak atas tanahnya.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

– 21 –

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 28 ayat (1) huruf b.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “rencana” adalah rencana lokasi dan rencana teknis yang meliputi rencana jumlah dan jenis prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan yang terintegrasi dengan perumahan yang sudah ada serta lingkungan hunian lainnya. Yang dimaksud dengan “rancangan” adalah desain teknis untuk mewujudkan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “usaha secara terbatas” adalah kegiatan usaha yang diperkenankan dapat dikerjakan di rumah untuk mendukung terlaksananya fungsi hunian.
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha yang tidak membahayakan fungsi hunian” adalah kegiatan usaha yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan bencana yang dapat mengganggu dan menyebabkan kerugian.
Yang dimaksud dengan “kegiatan yang tidak mengganggu fungsi hunian” adalah kegiatan yang tidak menimbulkan penurunan kenyamanan hunian dari penciuman, suara, suhu/asap, sampah yang ditimbulkan dan sosial.

– 22 –

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “orang asing” adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 53
Ayat (1)
Pengendalian perumahan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perizinan” adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui pemberian arahan dalam bentuk perizinan yang antara lain meliputi izin mendirikan bangunan dan izin penghunian.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “penertiban” adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui tindakan penegakan hukum bagi perumahan yang dalam pembangunan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan rencana atau ketentuan peraturan perundang-undangan.

– 23 –

Huruf c
Yang dimaksud dengan “penataan” adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui perbaikan dalam penyelenggaraan agar sesuai dengan tujuan penyelenggaraan perumahan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan” adalah rencana pembangunan tahunan, rencana program jangka menengah, dan rencana program jangka panjang.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang termasuk perolehan rumah dapat berupa pemilikan rumah, perbaikan rumah, dan sewa beli rumah.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hanya dapat menyewakan” adalah pembatasan menyewakan dan/atau mengalihkan perolehan atas rumah yang melalui kemudahan dari Pemerintah atau pemerintah daerah kepada pihak lain dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rumah umum bagi MBR, memberikan kesempatan yang sama bagi MBR lainnya untuk memperoleh kemudahan perolehan rumah umum, dan menjadi sarana pengendalian pengelolaan rumah umum.

– 24 –

Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “paling sedikit 5 (lima) tahun” adalah tempo waktu penghunian minimum pada rumah umum sejak diperolehnya kemudahan dari Pemerintah atau pemerintah daerah.

Huruf c
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga” adalah lembaga yang ditunjuk atau dibentuk Pemerintah atau pemerintah daerah antara lain untuk melaksanakan distribusi dan pelimpahan/pengalihan rumah umum yang diperoleh MBR.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah perikatan perjanjian antara MBR penerima kemudahan Pemerintah atau pemerintah daerah dengan lembaga yang ditunjuk atau dibentuk pemerintah antara lain untuk menghuni, memelihara, dan tidak mengalihkan rumah tersebut kepada pihak lain selama jangka waktu tertentu.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “didistribusikan kembali kepada MBR” adalah pengalokasian rumah umum kepada MBR yang berhak sesuai dengan persyaratan untuk memperoleh kemudahan dalam memiliki/menghuni rumah umum.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

– 25 –

Pasal 56 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tempat kegiatan yang mendukung” adalah bagian dari kawasan perkotaan dan kawasan perdesaaan guna mendukung perikehidupan dan penghidupan penghuni kawasan tersebut yang berupa aktivitas pelayanan jasa pemerintahan, aktivitas pelayanan jasa sosial, dan aktivitas ekonomi.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “efisiensi potensi lingkungan hunian perkotaan” adalah upaya untuk meminimalkan penggunaan sumber daya untuk menciptakan kondisi lingkungan hunian perkotaan secara lebih optimal, guna meningkatkan pelayanan perkotaan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “peningkatan pelayanan” adalah upaya yang harus dilakukan melalui penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sesuai dengan kebutuhan sehingga fungsi lingkungan hunian perkotaan dapat memadai.
Huruf c
Peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum perkotaan dimaksudkan untuk menciptakan fungsi, baik lingkungan hunian yang telah ada maupun lingkungan hunian yang baru sehingga lebih baik dan dapat mendukung

perikehidupan .

– 26 –

perikehidupan dan penghidupan setiap penghuni dalam lingkungan hunian yang sehat, aman, serasi, dan berkelanjutan.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “penetapan bagian lingkungan hunian perkotaan yang dibatasi dan yang didorong pengembangannya” adalah pembatasan bagian-bagian dalam kawasan perkotaan yang dapat dikembangkan sebagai upaya peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan, dan bagian yang tidak dapat dikembangkan karena keterbatasan daya dukung lingkungan yang dimaksudkan untuk keselamatan penghuni kawasan perkotaan.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh” adalah upaya penetapan fungsi sesuai dengan tata ruang.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak terencana dan teratur” adalah tumbuh berkembangnya perumahan di lokasi yang tidak direncanakan untuk perumahan atau fungsi lain akibat perkembangan lingkungan hunian perkotaan yang tidak sesuai dengan tata ruang.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

– 27 –

Pasal 61
Ayat (1)
Penyelenggaraan lingkungan hunian perdesaan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan pertanian, baik yang dibutuhkan sebelum proses produksi, dalam proses produksi, maupun setelah proses produksi.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “efisiensi potensi lingkungan hunian perdesaan” adalah upaya untuk meminimalkan penggunaan sumber daya untuk menciptakan kondisi perdesaan secara lebih optimal.
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan dan pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan” adalah upaya mengembalikan atau memulihkan kondisi fisik dan non fisik kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan agar dapat berfungsi kembali sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang .

– 28 –

Yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, seperti gempa bumi, akibat perang, tsunami dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan penurunan kualitas perumahan dan permukiman adalah proses menurunnya kondisi fisik, non fisik dan fungsi perumahan dan kawasan permukiman yang dapat menganggu perikehidupan dan penghidupan penghuni dan sekitarnya.

Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan atau lingkungan hunian perdesaan melalui perbaikan dan/atau pembangunan baru rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk memulihkan fungsi hunian secara wajar sampai tingkat yang memadai.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “rekonstruksi” adalah pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan atau lingkungan hunian perdesaan melalui perbaikan dan/atau pembangunan baru rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum dengan sasaran utama menumbuhkembangkan kegiatan perekonomian, sosial, dan budaya.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “peremajaan” adalah pembangunan kembali perumahan dan permukiman yang dilakukan melalui penataan secara menyeluruh meliputi rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan permukiman.

– 29 –

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tetap melindungi masyarakat penghuni di lokasi yang sama” bertujuan untuk memberikan jaminan hak bermukim dengan tanpa menggusur penghuni lama.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

– 30 –

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Ayat (1)
Huruf a
Pemberian insentif dimaksudkan untuk mendorong setiap orang agar memanfaatkan kawasan permukiman sesuai dengan fungsinya.

– 31 –

Huruf b
Pengenaan disinsentif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sebagaimana mestinya oleh setiap orang.

Huruf c
Pengenaan sanksi dimaksudkan untuk mencegah dan melakukan tindakan sebagai akibat dari pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sebagaimana mestinya oleh setiap orang.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeliharaan dan perbaikan” adalah upaya menjaga kondisi prasarana, sarana, dan utilitas umum secara terpadu dan terintegrasi melalui perawatan rutin dan pemeriksaan secara berkala agar dapat berfungsi secara memadai.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

– 32 –

Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perawatan” adalah proses menjaga/mempertahankan fungsi rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum termasuk memperbaiki jika terjadi kerusakan, yang dilakukan secara rutin.

Yang dimaksud dengan “pemeriksaan secara berkala” adalah proses memeriksa kondisi fisik rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam jangka tertentu sesuai dengan umur konstruksi, untuk mengetahui masih dapat berfungsinya rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum tersebut.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi atau pemugaran” adalah kegiatan perbaikan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum jika terjadi kerusakan untuk mengembalikan fungsi sebagaimana semula.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.

– 33 –

Ayat (2)
Prinsip kepastian bermukim dilaksanakan dengan cara menghindari penggusuran paksa yang tidak manusiawi, serta mengutamakan cara memandang tempat tinggal sebagai hak dasar.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pendampingan” adalah kegiatan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk pembimbingan, penyuluhan, dan bantuan teknis untuk mewujudkan kesadaran masyarakat dalam mencegah tumbuh berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh.
Yang dimaksud dengan “pelayanan informasi” adalah kegiatan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk pemberitaan hal-hal terkait upaya pencegahan perumahan kumuh dan permukiman kumuh, meliputi rencana tata ruang, perizinan, standar perumahan dan permukiman.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

– 34 –

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98 Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan” adalah kesesuaian koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan dengan persyaratan yang ditetapkan oleh setiap daerah.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas. Pasal 100
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 62 ayat (2) huruf c.

– 35 –

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tempat tinggal” adalah tempat tinggal sementara yang disediakan bagi penghuni perumahan kumuh atau permukiman kumuh selama proses peremajaan.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “melibatkan peran masyarakat” adalah upaya mengikutsertakan masyarakat dalam proses peremajaan.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “difasilitasi oleh pemerintah daerah” adalah upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan keswadayaan masyarakat dalam pengelolaan perumahan, antara lain dalam bentuk pemberian pedoman, pelatihan/penyuluhan, serta pemberian kemudahan dan/atau bantuan.

Pasal 104
Cukup jelas.

– 36 –
Pasal 106
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “peralihan hak atas tanah” adalah proses jual beli hak atas tanah kepada pembeli yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.
Yang dimaksud dengan “pelepasan hak atas tanah” adalah pelepasan yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara karena pembeli tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Cukup jelas.

Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.

– 37 –

Huruf c
Yang dimaksud dengan “desain konsolidasi” adalah rancangan tentang penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Huruf d
Cukup jelas.

Pasal 111 Ayat (1)
Tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemilik tanah telah menyumbangkan sebagian hak atas tanahnya untuk Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP) dan Tanah Pengganti Biaya Pembangunan (TPBP).

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 112
Ayat (1)
Kerja sama dengan badan hukum dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi penggarap tanah negara atau pemegang hak atas tanah dapat bersama-sama meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “prinsip kesetaraan” adalah persamaan kedudukan antara penggarap tanah negara dan / atau pemegang hak atas tanah dan badan hukum yang bekerja sama dalam pelaksanaan konsolidasi tanah dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah notaris.

Pasal 113
Cukup jelas.

– 38 –

Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah notaris.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 115 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah upaya memfungsikan tanah barang milik negara atau tanah barang milik daerah untuk kepentingan pembangunan rumah umum dan/atau rumah khusus.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 116
Cukup jelas.

Pasal 117
Cukup jelas.

Pasal 118
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sistem pembiayaan” adalah sistem yang mengatur pengerahan, pemupukan, penyaluran, dan pemanfaatan dana dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana yang dilaksanakan oleh lembaga keuangan dengan atau tanpa kemudahan dan/atau bantuan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

– 39 –

Pasal 119
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “sumber dana lainnya” adalah dana yang dihasilkan dari perjanjian atau kesepakatan bersama yang dapat berupa hibah atau bantuan, pinjaman, baik dari sumber dana dalam negeri maupun luar negeri.

Pasal 120
Cukup jelas.

Pasal 121
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pembiayaan primer perumahan” adalah pembiayaan di sisi pasokan pada saat kredit atau pembiayaan pembangunan rumah, perumahan, permukiman dan lingkungan hunian diterbitkan; dan di sisi permintaan kredit atau pembiayaan perolehan rumah diterbitkan yang dilaksanakan oleh bank dan/atau lembaga keuangan bukan bank.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “pembiayaan sekunder perumahan” adalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada lembaga keuangan penerbit kredit dengan melakukan sekuritisasi. Sekuritisasi yaitu transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara pembelian aset

– 40 –

keuangan dari lembaga keuangan penerbit kredit dan penerbitan efek beragun aset.

Pasal 122
Cukup jelas.

Pasal 123
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana masyarakat” adalah dana yang berasal dari masyarakat yang disimpan di lembaga keuangan dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “dana tabungan perumahan” adalah simpanan yang dilakukan secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati sesuai dengan perjanjian, dan digunakan untuk mendapatkan akses kredit atau pembiayaan untuk pembangunan dan perbaikan rumah, serta pemilikan rumah dari lembaga keuangan.
Apabila tabungan perumahan telah melembaga, dana APBN untuk pembiayaan murah jangka panjang dapat dihentikan.
Yang dimaksud dengan “hasil investasi” adalah hasil investasi atas kelebihan likuiditas pada instrumen investasi yang aman, berupa deposito dan surat utang negara.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “dana lainnya” adalah dana yang sah sesuai peraturan perundangan yang berasal dari selain butir a dan butir b, yang antara lain dapat berupa dana investor institusional (seperti perusahaan asuransi dan perusahaan pengelola dana pensiun) di pasar modal; dan dana APBN pos pembiayaan khusus untuk perumahan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3) …

– 41 –

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “lembaga keuangan bukan bank” adalah lembaga keuangan yang mengelola tabungan perumahan seperti Bapertarum-PNS (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-PNS) dan tabungan perumahan untuk TNI/Polri.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 124
Cukup jelas.

Pasal 125
Cukup jelas.

Pasal 126
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemanfaat atau pengguna” adalah MBR yang memperoleh kemudahan dan bantuan berupa pembiayaan perumahan.

Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kemudahan atau bantuan berupa skema pembiayaan” adalah kemudahan atau bantuan dalam mendapatkan akses kredit/pembiayaan, keterjangkauan pengembalian kredit/pembiayaan yang dikaitkan dengan skema pembiayaan melalui keringanan dalam uang muka dan/atau; suku bunga; dan/atau jangka waktu pengembalian.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “kemudahan atau bantuan berupa penjaminan atau asuransi” adalah kemudahan atau bantuan dalam mendapatkan akses kredit/pembiayaan yang dikaitkan dengan pengurangan potensi resiko kredit yang dihadapi

– 42 –

lembaga keuangan dalam menerbitkan kredit/pembiayaan pemilikan rumah dan perbaikan rumah.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “kemudahan atau bantuan berupa dana murah jangka panjang” adalah ketersediaan dana dengan suku bunga terjangkau yang sekaligus mampu menanggulangi ketidaksesuaian antara jangka waktu sumber biaya berupa tabungan, giro, deposito dengan jangka waktu pengembalian atau tenor kredit pemilikan rumah.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang termasuk lembaga keuangan sebagai penyalur kredit atau pembiayaan antara lain berupa bank dan Perusahaan Pembiayaan.

Pasal 128
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sekuritisasi” adalah transformasi aset yang tidak liquid menjadi liquid dengan cara pembelian aset keuangan dari kreditor asal dan penerbit efek beragun aset.

Ayat (4)
Cukup jelas.

– 43 –

Pasal 129
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “informasi” adalah pengetahuan tentang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang antara lain meliputi peraturan, kebijakan, program, kegiatan, informasi kebutuhan dan penyediaan rumah, serta sumber daya yang dapat diakses.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “manfaat” adalah keuntungan sebagai dampak dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, antara lain melalui kesempatan berusaha, peran masyarakat, dan pemanfaatan hasil pembangunan.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “penggantian yang layak atas kerugian” adalah kompensasi yang diberikan kepada setiap orang yang terkena dampak kerugian akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Penggantian tersebut mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf f
Cukup jelas.

Pasal 130
Cukup jelas.

Pasal 131
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “peran masyarakat dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman” adalah pelibatan setiap pelaku pembangunan dalam upaya pemenuhan kebutuhan perumahan bagi seluruh masyarakat.

– 44 –

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Dalam rangka mendorong peran masyarakat, forum pengembangan masyarakat dapat melakukan satu atau lebih fungsi dan tugas sesuai dengan kewenanganannya.

Pasal 132
Cukup jelas.

Pasal 133
Cukup jelas.

Pasal 134
Lihat penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf b.

Pasal 135
Cukup jelas.

Pasal 136
Cukup jelas.

Pasal 137
Cukup jelas.

Pasal 138
Cukup jelas.

Pasal 139
Cukup jelas. Pasal 140
Yang dimaksud dengan “tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya” antara lain, sempadan rel kereta api, bawah jembatan, daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Daerah Sempadan Sungai (DSS), daerah rawan bencana, dan daerah kawasan khusus seperti kawasan militer.

45

Pasal 141
Cukup

jelas.

Pasal 142
Cukup

jelas.

Pasal 143
Cukup

jelas.

Pasal 144
Cukup

jelas.

Pasal 145
Cukup jelas. Pasal 146
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menjual kaveling tanah matang tanpa rumah” adalah suatu kegiatan badan hukum yang dengan sengaja hanya memasarkan kaveling tanah matang kepada konsumen tanpa membangun rumah terlebih dahulu. Penjualan kaveling tanah matang kepada konsumen hanya dapat dilakukan apabila badan hukum tersebut telah membangun perumahan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan perumahan di Lisiba dan dalam keadaan terjadi krisis moneter nasional yang berakibat pada kesulitan likuiditas pada badan hukum tersebut.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 147
Cukup jelas.

Pasal 148
Cukup jelas.

Pasal 149

Pasal 150
Cukup jelas.

Pasal 151
Cukup jelas.

Pasal 152
Cukup jelas.

Pasal 153
Cukup jelas.

Pasal 154
Cukup jelas.

Pasal 155
Cukup jelas.

Pasal 156
Cukup jelas.

Pasal 157
Cukup jelas.

Pasal 158
Cukup jelas.

Pasal 159
Cukup jelas.

Pasal 160
Cukup jelas.

Pasal 161
Cukup jelas.

– 46 –

– 47 –

Pasal 163
Cukup jelas.

Pasal 164
Cukup jelas.

Pasal 165
Cukup jelas.

Pasal 166
Cukup jelas.

Pasal 167
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5188

 
Leave a comment

Posted by on November 11, 2011 in Advokat - Lawyer